Jumat, 11 Februari 2011

Thailand dan Kamboja Sekali Lagi Bertikai Soal Perbatasan



Dalam empat hari antara tanggal 4 hingga 7 Februari, Thailand dan Kamboja telah empat kali terlibat dalam kontak senjata serius di daerah perbatasan yang dipersengketakan di dekat Kuil Preah Vihear. Kedua negara mengerahkan senjata berat seperti meriam roket dan artileri sehingga jatuh korban jiwa di kedua pihak. Konflik bersenjata Thailand dan Kamboja mengundang perhatian masyarakat internasional. ASEAN dan Dewan Keamanan PBB menghimbau agar kedua pihak menahan diri semaksimal mungkin dan menyelesaikan konflik perbatasan secara damai melalui perundingan.

Kuil Preah Vihear terletak di daerah perbatasan Thailand dan Kamboja, mulai dibangun pada awal abad ke-11 dan memiliki arsitektur yang sangat unik. Kedaulatan daerah di sekitar kuil itu selalu menjadi sengketa antara Kamboja dan Thailand. Masing-masing negara mengklaim kepemilikan atas daerah itu. Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan Kuil Preah Vihear adalah milik Kamboja. Vonis itu menimbulkan kontroversi di Thailand. Pada bulan Juli 2008, UNESCO secara resmi menetapkan Kuil Preah Vihear sebagai warisan budaya dunia dan persengketaan kedua negara atas kuil itu semakin meningkat. Kedua negara berulang kali terlibat dalam konflik yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Menurut pengamat, konflik perbatasan Thailand-Kamboja itu pada hakikatnya mempunyai sebab sejarah yang mendalam. Garis perbatasan Thailand-Kamboja sekarang secara umum dibelah oleh kolonialis Inggris dan Perancis dan merupakan hasil pembagian kawasan pengaruh kolonialisme di Asia Tenggara pada abad ke-19, juga merupan akar konflik Thailand-Kamboja sekarang ini.

Perdana Menteri Kamboja Hung Sen hari Senin lalu dalam suratnya kepada Dewan Keamanan PBB menuntut Dewan Keamanan mengadakan sidang darurat mengenai situasi yang semakin memburuk di perbatasan Kamboja-Thailand dan mencegah agresi Thailand terhadap Kamboja. Perdana Menteri Thailand Abhisit hari Selasa dalam suratnya kepada Dewan Keamanan juga menjabarkan pendirian Thailand mengenai masalah perbatasan dan mengecam Kamboja hendak menginternasionalisasi masalah tersebut.

Ketua bergilir sidang Dewan Keamanan PBB Maria Luiza Viotti hari Selasa mengatakan, Dewan Keamanan penyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap konflik perbatasan Kamboja-Thailand dan menghimbau kedua negara menghentikan konflik dan menyelesaikan perselisihan secara damai. Ia mengatakan, Dewan Keamanan mendukung upaya Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa sekalu ketua bergilir ASEAN dan Dewan Keamanan bersedia bersidang untuk mengevaluasi mediasi di kawasan tersebut. Ia menyatakan, pihaknya telah menerima surat pemerintah Kamboja dan Thailand mengenai konflik militer itu. Sekjen PBB Ban Ki-moon hari Senin dalam pernyataannya mengimbau Kamboja dan Thailand menahan diri semaksimal mungkin dan mengambil langkah efektif demi mengakhiri permusuhan.

Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan dan Indonesia selaku Ketua Bergilir mulai mencoba mengadakan mediasi. Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa secara terpisah melakukan kunjungan di Kamboja dan Thailand demi menengahi masalah. Marty kemarin di Pnom Penh, Kamboja mengadakan pertemuan dengan Wakil PM merangkap Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional Kamboja Hor Namhong. Hari ini ia tiba di Bangkok dan akan mengadakan pembicaraan dengan Wakil PM merangkap Menteri Luar Negeri Thailand Kasit Piromya menyatakan, ASEAN mendukung Kamboja dan Thailand menyelesaikan konflik perbatasan melalui perundingan bilateral. Ia mengatakan, baik Thailand maupun Kamboja sama-sama menyebut situasi di perbatasan saat ini stabil dan ia berharap menyaksikan gencatan senjata dilaksanakan secara permanen dan berkelanjutan.

Jurubicara Kementerian Luar Negeri Thailand Thani Thongpakdi seusai pembicaran mengatakan, Thailand dan Kamboja akan mengadakan perundingan mengenai masalah perbatasan pada akhir bulan ini, tetapi ia tidak mengungkapkan jadwal dan lokasi konkret.

Walaupun Thailand dan Kamboja menyatakan bersedia menyelesaikan masalah melalui pendekatan diplomatik, namun masalah itu menyangkut kepentingan nasional yang mengundang perhatian seluruh masyarakat di kedua negara, sehingga menjadi isu politik sensitif di dalam negeri masing-masing. Setelah terjadinya konflik, para pendukung Aliansi Demokrasi Rakyat Thailand yang disebut kelompok "Kaus Kuning" terus meningkatkan tekanan terhadap pemerintah dengan mengadakan unjuk rasa di dekat Kantor Perdana Menteri dan menyatakan ketidakpuasan terhadap sikap pemerintah pada masalah persengketaan perbatasan. Mereka berencana akan berunjuk rasa dan mengancam akan menduduki satu gedung lembaga pemerintah yang vital pada tanggal 11 Februari. Sidang Kabinet Thailand kemarin mengizinkan diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri di sejumlah daerah di Bangkok demi mencegah para pengunjuk rasa menyerbu kantor pemerintah dan menutup jalan.

Dilihat dari respons warga kedua negara, baik Kamboja maupun Thailand mengharapkan masalah itu bisa diselesaikan secara damai. Risiko konflik terhadap ekonomi dan kehidupan warga sipil kini mulai muncul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar